Dinilai Tidak Menguntungkan, Indonesia Miskin Film Anak

Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) Rommy Fibri Hardiyanto

JAKARTA (Waspada): Indonesia membutuhkan banyak produksi film anak-anak. Selama ini, media penyebarluasan film seperti bioskop atau televisi, didominasi film-film usia dewasa.

Selama ini film yang ramah ditonton oleh anak-anak, hanya sekitar 10 sampai 14 persen dari total film yang beredar.

“Pada dasarnya masyarakat butuh lebih banyak film anak. Film yang mengandung pornografi, kekerasan, perjudian, pelecehan, perendahan terhadap harkat dan martabat serta penodaan terhadap agama dan kemanusiaan, tentu akan memberikan dampak buruk bagi anak bila tidak ada proses penyensoran,” ujar Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) Rommy Fibri Hardiyanto dalam acara webinar dengan tema ‘Upaya dan Strategi Pemajuan Film Anak di Indonesia’, Kamis (23/7). Webinar diikuti sedikit 320 peserta dari seluruh kalangan pemerhati film anak.

Hadir sebagai pembicara utama yaitu Dede Indra Permana, Anggota Komisi I DPR RI. Dalam acara ini juga turut menghadirkan narasumber Dahnil Anzar Simanjuntak, Staf Khusus Kementerian Pertahanan RI; Wulan Guritno, Aktris/Produser; Naswardi Ketua Komisi III LSF RI; dan Fasli Jalal, Wakil Menteri Pendidikan Nasional 2010-2011/Rektor Universitas YARSI.

Rommi menambahkan, bahwa film tentu akan memberikan dampak negatif, bila ditonton tidak sesuai dengan klasifikasi usia, karena film yang diperuntukan bagi orang dewasa tidak akan cocok bila ditonton oleh anak-anak.

“Karena itu, LSF terus menggalakkan program Sosialiasi Budaya Sensor Mandiri. Sensor mandiri ini juga menyasar kepada keluarga. Orang tua, khususnya, supaya bisa menjaga anak-anaknya dari tontotan yang tidak baik atau tak sesuai usianya,” ujar Rommi.

Mengapa film anak-anak tidak banyak diproduksi? Jawabannya, tidak menguntungkan. Pendapat itu, dikatakan Ketua Komisi III LSF, Naswardi, sesungguhnya tidak sepenuhnya benar. Sebab kenyataannya ada juga film anak-anak yang mampu meriah kesuksesan besar dalam artian ekonomi. Sebut saja Film Petualangan Sherina dan Laskar Pelangi.

Di tengah suasana minimnya tontotan yang menuntun, anak-anak Indonesia juga dihadapkan pada kemajuan teknologi yang membuat film berbasis digital bertebara dimana-mana. Dalam hal ini, tentu saja LSF mengaku menyerah.

“Jujur kita tidak punya kekuatan menyensor maraknya film-film berbasis digital,” ujar Naswardi.

Karena itu dikatakan Naswardi, LSF mengajak keluarga untuk sama-sama mendukung program sensor mandiri.

Pakar anak usia dini, Prof DR Fasli Jalal menambahkan, film adalah salah satu media mencerdaskan anak yang paling efektif. Sebab menonton dan mendengarkan, sangat cepat masuk ke dalam memori anak. Poinnya bisa mencapai 50 persen. Ketika anak membahas film itu, kecerdasannya naik sampai 75 persen.

“Dan ketika kelak anak mampu membuat film sendiri sesuai memori dan stimuli masa kecilnya, maka kecerdasannya sudah sampai ke level 90. Jadi benar-benar media efektif untuk pembelajaran,’ tandas Fasli.

Sebab itu, dia juga tak heran jika ada anak yang menjadi pelaku kekerasan seksual saat dia kerajingan pornografi. Otak anak itu sudah rusak.

“Maka dari itu marilah sebagai orang tua, kita rajin menyajikan tontotan yang juga tuntutan pada anak-anak kita,” pungkad Fasli. (j02)

sumber : https://waspada.id/hiburan/dinilai-tidak-menguntungkan-indonesia-miskin-film-anak/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *