Agresi Milter Belanda Lautan Api Di Benteng Huraba

BENTENG Huraba masih kokoh berdiri di Desa Huraba, Kecamatan Batang Angkola, Kabupaten Tapanuli selatan satu monumen sejarah berdiri megah tepatnya di bibir Jalan lintas Sumatera (Jalinsum) antara Kota Padangsidimpuan dengan Kota Padang, Sumatera Barat.
Monumen benteng perjuangan sejarah perjuangan dari pahlawan yang gugur dalam perang mempertahankan bumi pertiwi dari rongrongan penjajah Belanda saat itu Tahun 1949 sebagai agresi Milter Belanda kedua itu.

Menurut sejarah masa agresi Militer Belanda kedua Tanggal 19 Desember 1948 pasukan Belanda melakukan penyerangan pertama ke Ibukota Republik Indonesia yaitu Yogyakarta sekaligus menangkap Presiden Soekarno dan Wapres Muhammad Hatta hingga kedua pimpinan Negara itu diungsikan oleh pasukan Belanda ke Brastagi, Tanah Karo.
Hingga penyerangan itu berimbas ke daerah-daerah termasuk wilayah Tapanuli, situasi saat itu sedang kacau balau hingga Ibukota Republik Indoesia (RI) pindah saat itu ke Bukittinggi pada 22 Desember 1948 dipimpin Syafruddin Prawiranegara.
Sedangkan di ibukota Karesidenan Tapanuli yaitu Sibolga pasukan Belanda melakukan serangan bombardier dari jalur laut, uadar dan darat, hingga Kota Sibolga dikuasi penjajah itu Tanggal 20 Desember 1948. Saat jatuhnya ibukota Tapanuli ke tangan pasukan Belanda situasi saat itu semakin kacau dan mecekam.
Hingga seluruh pasukan RI di Tapanuli bergabung di bawah pimpinan Mayor Bejo menghalau serangan pasukan Belanda dari wilayah Sibolga menuju Padang Sidempuan, saat itu 28 Desember 1948 militer Belanda menerobos Batangtoru Tapanuli selatan, namun pasukan
Belanda terhalau akibat jembatan sungai Batangtoru sekira 150 Meter dihancurkan oleh pasukan Mayor Bejo.
Di wilayah Batangtoru saat itu tejadi pertempuran sengit antara pasukan Belanda melawan pasukan Brigade B yang bermarkas di Padang Sidempuan, pertikaian itu tidak sebanding yang berkecamuk di sekitar jembatan Batangtoru. Hingga Brigade- B lebih minim jumlah pasukannya dipukul mundur oleh pasukan Belanda melalaui serangan udara melalui pesawat tempur dari Bandara Pinangsori, Tapanuli Tengah.

Padang Sidempuan Dikuasi Belanda 1949
Siasat perang yang dilakukan pihak pasukan Belanda terhadap pasukan RI ternyata ampuh melalui alat perang canggih saat itu, seperti pesawat terbang pemusnah untuk menjatuhkan bom di wilayah Tapanuli.
Berbagai aral rintangan seperti menumbangkan pohon-pohon ke jalan raya, memutuskan setiap jembatan dilakukan pasukan Brigade-B mulai dari Batangtoru hingga menuju Padang Sidempuan sebagai upaya menghambat serangan dan kehadiran pasukan Belanda merebut Padangsidempuan.
Namun upaya dari Brigade-B itu sia-sia, dengan meluncurnya dua unit pesawat tempur milik pasukan Belanda membombardir Padang Sidempuan sebagai Ibukota wilayah Tapanuli Selatan, hingga pasukan Belanda merebut kota itu Tanggal 1 Januari 1949. Sedangkan ibukota Tapanuli Selatan pindah ke Sipirok saat itu Bupatinya, Sutan Doli Siegar.
Jatuhnya kota Padang Sidempuan ke tampuk pasukan Belanda kekalahan itu sangat dilematis bagi pasukan Laskar Rakyat yang bermakas di Huta Goti, kemudian pasukan di Desa Huta Goti bergabung dengan pasukan Brigade-I Sumatera pimpinan Iptu Ibnu, Kompi Brigade B pimpinan Kapten Robinso Hutapea, serta Laskar Rakyat dipimpin Letnan Sahala Muda Pakpahan, sehingga dengan pertempuran selama tiga hari dapat merebut kembali Kota Padang Sidempuan.

Lautan Api Di Huraba
Berselang enam jam Kota Padang Sidempuan dikuasi pasukan RI, namun pasukan Belanda yang sempat dipukul mundur ke arah Batangtoru tidak patah arang hingga melakukan serangan balik secar betubi-tubi ke Kota Padang Sidempuan, perangpun berkecamuk, hingga pasukan RI lari ke arah Angkola Jae, yaitu Pijor Koling, Pintu Padang dan Berkoordinasi di Huta (Kampung) Huraba.