Sahala Muda Pakpahan ‘Harimau’ Dari Tanah Sipirok

SIPIROK merupakan kota wisata alam yang masih hijau, jauh dari kata polusi udara. Pemandangan alam dengan hamparan pegununungan api Sibualbuali diapit oleh Bukit Barisan nan biru.
Namun kota nan sejuk ini penuh menyimpan sejarah perjuangan bangsa, begitu banyak para Pahlawan yang gugur saat mempertahankan negeri ini dari tangan-tangan penjajah Belanda kala itu.
Informasi sejarah di Sipirok dihimpun Waspada, Jumat (28/8) saat Pasukan Belanda juga menemukan kota dalam keadaan kosong karena telah ditinggalkan rakyat Padangsidimpuan mengungsi ke luar kota.
Pasukan Belanda tampaknya tidak menduga apa yang telah dilalui dan yang terjadi di depan mata. Sebaliknya, apa yang telah dilakukan oleh pasukan gerilya telah menunjukkan bukti bahwa pasukan gerilya dapat membuat nyali pasukan Belanda menjadi selalu waswas dan mungkin keberaniannya bisa jadi telah mengendor.
Pemerintah Republik di Padangsidimpuan pimpinan Bupati Sutan Doli Siregar, Patih Ayub Sulaiman Loebis, dan Wedana Maraganti Siregar serta kepala persediaan makanan (logistik) rakyat Kalisati Siregar juga telah meninggalkan Padangsidimpuan menuju Sipirok (ibukota Kewedanaan Siprirok).
Dari Sipirok, para pimpinan itu direncanakan untuk meneruskan perjalanan ke Panyabungan (sebagai ibukota Kabupaten Batang Gadis).
Angkatan Gerilya Sipirok
Di Kewedanaan Sipirok sendiri, antisipasi perlawanan terhadap pasukan Belanda sudah terbentuk dan dilakukan oleh laskar rakyat yang dinamakan AGS (Angkatan Gerilya Sipirok). AGS ini dipimpin oleh Sahala Muda Pakpahan ‘Harimau’ Sipirok yang bertugas sebagai komandan dengan wakilnya Maskud Siregar.
Komando Angkatan Gerilya Sipirok ini selanjutnya menjadi sangat penting untuk melakukan perlawanan terhadap pasukan Belanda dan membuat pertahanan di Sipirok, lalu penyerangan ke daerah induk Padangsidimpuan. AGS ini sendiri sesungguhnya baru dilantik oleh Wedana sekaligus PPK (Pimpinan Pertahanan Kewedanaan) Sipirok tanggal 3 Januari 1949.
Sejumlah eks Laskar yang terpukul mundur dari Sumatera Timur dan telah mengungsi di Sipirok lalu direkrut untuk memperkuat barisan AGS. Anggota laskar yang menganggur itu diantaranya para anak buah Kapten Koima Hasibuan, eks pasukan ‘Naga Terbang’ dan sejumlah anggota kepolisian Sipirok.
Para laskar ini lalu seluruhnya dipersenjatai senapan locok yang hanya itu yang ada ketika itu. Dalam tempo yang relatif singkat, kekuatan barisan AGS sudah memadai dan siap untuk melakukan pertempuran besar.
Pada tanggal 5 Januari 1949 pasukan republik melancarkan serangan terhadap Belanda yang menduduki Padangsidimpuan dari Sipirok, dan berhasil masuk ke dalam kota. Akan tetapi balasan mortir yang bertubi-tubi dihamburkan pasukan Belanda bukan imbangan pasukan republik dalam pertempuran itu.
Pasukan republik ini terpaksa mundur dan kembali ke Sipirok dengan membawa serta pejuang yang gugur dan anggota pasukan yang terluka.
Selanjutnya pada tanggal 21 Januari 1949 kota Sipirok diserang oleh pasukan Belanda, dan pemerintahan republik di Sipirok terpaksa mengungsi ke Arse dan markas AGS terpaksa dipindahkan ke Bukit Maondang (tiga kilometer dari Sipirok).
Pada tanggal 30 Januari 1949, Binanga Siregar selaku Wakil Residen Tapanuli mengunjungi bukit Maondang dan Arse di Tapanuli Selatan untuk menyaksikan dari dekat pertahanan republik di garis depan.
Diplomasi Di PBB
Keesokan harinya Wakil Residen bersama Wedana Sipirok berpidato di hadapan rakyat tentang isi surat Residen Tapanuli ketika itu yang mengutip berita-berita yang disiarkan All Indian Radio dan Radio Australia, bahwa Indonesia telah berhasil melakukan diplomasi di PBB.
Pada tanggal 1 Februari 1949, Ayub Sulaiman Lubis dan Kalisati Siregar (Patih dan Kepala Logistik Padang Sidempuan) berangkat ke Batang Angkola melalui rute gerilya dan selanjutnya meneruskan perjalanan ke Panyabungan (ibu kota Kabupaten Batang Gadis).
Keesokan harinya, jalan yang sama dilalui pula oleh Binanga Siregar (Residen ‘ad interim’ Tapanuli), Sutan Doli Siregar (Bupati Padangsidimpuan/Bupati Tapanuli Selatan yang pertama), Abdul Hakim Harahap (Wakil Residen Tapanuli) dan Maraganti Siregar (Wedana Sipirok) untuk mengabarkan keberhasilan diplomasi bangsa Indonesia di PBB kepada masyarakat di pedalaman.
Setelah pasukan Belanda mengetahui pemerintah republik sudah meninggalkan Sipirok dan membuat pos di Arse, maka pada tanggal 17 Februari 1949 pasukan Belanda melanjutkan serangannya.
Pemerintahan Padangsidimpuan dan Kewedanaan Sipirok dipindahkan ke Simangambat. Sipirok sendiri masuk daerah pendudukan Belanda dan Arse adalah garis demarkasi yang menjadi teritorial pihak Belanda. Pengungsian rakyat telah berlangsung sejak 7 Maret 1949.
Pasukan Belanda yang terus menyerang itu pada dasarnya terdiri dari pasukan-pasukan yang bermarkas di Sipirok. Setiap pasukan umumnya terdiri hanya dua orang militer asli Belanda dengan perlengkapan militer lengkap tetapi didukung sejumlah anggota pasukan lainnya yang notabene merupakan orang-orang berkulit sawo matang yang mungkin berasal dari anak bangsa kita sendiri alias penghinat. Waspada/Ahmad Cerem Meha
sumber : https://waspada.id/features/sahala-muda-pakpahan-harimau-dari-tanah-sipirok/